Panggil Aku Duanu : Mangrove, Martabat, dan Perjuangan di Pesisir

 


Oleh :  Zainal Arifin Hussein
Aktivis BDPN / Dosen Ekonomi UNISI 

Di pesisir Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, ada sebuah komunitas yang telah hidup, berlayar, dan menjaga laut selama berabad-abad Suku Duanu. Mereka bukan pendatang baru di sini. Sejak masa kerajaan, Duanu telah menjadi bagian dari sejarah panjang penjagaan perairan dan hutan bakau. Namun, kisah mereka jarang sekali sampai ke panggung nasional.


Sejak tahun 1999, komunitas ini mendeklarasikan diri sebagai Suku Duanu, meninggalkan sebutan “Orang Laut” yang selama ini disematkan kepada mereka. Bukan tanpa alasan. “Orang Laut” kerap menjadi label yang sarat stigma: kotor, tak berpendidikan, rendah ilmu. Stigma ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga menimbulkan diskriminasi sistemik. Anak-anak Duanu yang bersekolah sering menjadi korban bullying. Perempuan Duanu pun kerap mendapat pandangan negatif di ruang publik.


“Panggil kami Duanu,” adalah pernyataan identitas sekaligus perlawanan damai. Mereka ingin diakui sebagai masyarakat adat dengan martabat penuh, bukan sekadar catatan kaki di sejarah daerah.


Kearifan lokal Duanu begitu kuat dan relevan untuk masa kini. Mereka memiliki prinsip yang diwariskan turun-temurun: “Hoyyu Barau Untuk Bertedoh, Usah Ditebang Bia Nyu Tumboh” Hutan bakau untuk berteduh, jangan ditebang, biarkan tumbuh. Aturan adat mereka melarang meracun ikan, melarang menebang mangrove sembarangan, dan melarang mengambil kerang dengan alat merusak. Semua itu demi satu tujuan,  keberlanjutan sumber daya alam.


Ironisnya, justru saat mereka setia menjaga, ancaman datang dari luar. Penggunaan alat tangkap merusak seperti sondong dan trawl mini, racun ikan di sungai, serta minimnya pengawasan membuat ekosistem pesisir rusak. Ketika mangrove hilang, kebun masyarakat yang berada di belakangnya ikut lenyap tergerus abrasi dan intrusi air laut. Bagi Duanu, itu berarti hilangnya sumber nafkah yang telah menopang mereka selama generasi.


Duanu bukan sekadar pelaut. Mereka adalah benteng alami yang melindungi kebun-kebun rakyat dari ancaman abrasi. Peran ini seharusnya membuat kita semua bersyukur akan keberadaan mereka. Pemerintah daerah dan nasional semestinya mengutamakan perlindungan wilayah pesisir dari izin-izin perusahaan yang merusak. Skema perhutanan sosial perlu menjadi prioritas, agar masyarakat adat seperti Duanu bisa menjadi pengelola utama wilayahnya sendiri.


Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, yang jatuh setiap 9 Agustus, berdekatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80. Dua momentum ini seharusnya menjadi pengingat bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari penjajahan, tetapi juga dari stigma, diskriminasi, dan perampasan ruang hidup. Duanu berhak merdeka dari bullying dan narasi negatif.


Di tangan Duanu, pelestarian mangrove bukan sekadar wacana. Ini adalah kehidupan. Dan di tangan kita semua, masa depan mereka dan pesisir Indonesia akan ditentukan. Jika mereka mampu menjaga selama berabad-abad dengan kearifan lokal, tidakkah kita malu jika dengan semua pendidikan dan teknologi kita justru gagal melindunginya?


Mereka bukan hanya penjaga laut, tetapi juga penjaga martabat kita sebagai bangsa yang mengaku beradab. Maka, mari kita mulai memanggil mereka dengan nama yang mereka pilih : Duanu.(***) 

Posting Komentar

0 Komentar