"Kedai Kopi: Secangkir kopi dan Hisab yang Terlupa"

H.Andi Muhammad Ramadhani

Pemerhati Sosial Keagamaan

Anggota ICMI Orda Inhil


Ada sesuatu yang tenang dalam suara sendok yang beradu dengan cangkir. Asap tipis mengepul dari kopi panas yang baru diseduh, menghangatkan pagi atau membalut senja. Di sudut meja, asap rokok ikut menari, melingkar di udara bersama cerita yang tak tentu arah.

Tawa bersahutan. Gawai menyala. Waktu berjalan pelan-pelan menuju penghabisan.


Di balik wangi kopi dan temaram lampu kedai, sering kali hisab terlupa bahwa setiap detik akan ditanya, setiap kata akan dicatat, dan setiap duduk akan dipertanggungjawabkan.

Di akhir zaman seperti ini, tempat santai bisa jadi pintu celaka, jika lisan tak dijaga dan hati dibiarkan lengah.


Dalam beberapa tahun terakhir, budaya nongkrong di kedai kopi menjadi fenomena yang merebak di tengah masyarakat kita. Dari kota besar hingga pelosok desa, kedai kopi tumbuh bagai jamur di musim hujan. Tempat ini menjadi titik temu berbagai kalangan anak muda, pekerja, bahkan sebagian tokoh masyarakat. Namun, pertanyaannya ; Benarkah semua yang terjadi di kedai kopi adalah hal yang produktif dan positif?

Untuk apa ia duduk,dan apa yang dibicarakannya saat ia duduk?


Hari ini, kedai kopi bukan lagi sekadar tempat menyeruput secangkir kopi panas. Ia telah bertransformasi menjadi ruang pertemuan sosial, tempat curhat tak resmi, diskusi ringan, bahkan kantor dadakan bagi para pekerja lepas. Aroma kopi yang khas, desain interior yang nyaman, dan akses internet yang cepat menjadikan kedai kopi sebagai magnet bagi banyak orang dari berbagai kalangan.


Di sisi manfaat, tak bisa disangkal kedai kopi punya nilai positif.

Ia menjadi wadah mempererat silaturahim, ruang kreatif bagi ide-ide segar, dan tempat bernaung dari kepenatan hidup sehari-hari. Banyak yang memanfaatkannya untuk berdiskusi ilmu, menyelesaikan tugas kuliah, bahkan membicarakan agenda dakwah atau kebaikan sosial.


Namun, di balik segala kelebihan itu, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap sisi mudaratnya. Tidak sedikit yang datang ke kedai kopi hanya untuk menghabiskan waktu tanpa arah. Yang lebih memprihatinkan, obrolan ringan sering kali menjelma menjadi ghibah: membicarakan aib orang lain, mengomentari rumah tangga orang, hingga menyindir mereka yang tak hadir di meja.


Padahal, Rasulullah SAW telah memperingatkan dengan sabda yang sangat jelas ;

"Barangsiapa yang 

beriman kepada Allah 

dan hari akhir, 

hendaklah ia berkata 

baik atau diam."

(HR. Bukhari dan Muslim)


Ghibah bukan perkara sepele. Ia adalah dosa besar. Allah SWT bahkan menggambarkannya dalam Al-Qur’an sebagai perbuatan yang menjijikkan, seperti memakan daging saudara sendiri yang telah mati. (QS. Al-Hujurat: 12).

Maka betapa bahayanya jika tempat yang mestinya membawa manfaat justru menjadi ladang dosa yang terus dipanen setiap harinya.


Abah Guru Sekumpul, ulama besar yang sangat dihormati dan dicintai di Nusantara, pernah mengingatkan dengan tegas:


"Ulun (saya) kada suka lawan 

orang yang tiap hari 

duduk di warung kopi, 

buang-buang waktu, 

banyak pander (bicara)yang 

kada perlu, dan bisa 

membawa kepada 

dosa."


Beliau juga menasihati dengan kalimat yang sangat dalam dan kontekstual bagi kita di akhir zaman:

"Bila handak hidup 

selamat di akhir 

zaman, jangan banyak 

pander (bicara), 

tidak usah banyak keluar 

rumah, kadak (tdak) usah 

kumpul-kumpul yang 

tidak penting, perbanyak haja Sholawat"


Nasihat ini bukan mengajak untuk menjadi antisosial, tapi untuk menjadi pribadi yang cermat menjaga waktu, menjaga lisan, dan menjaga niat. Karena tak sedikit musibah dimulai dari berkumpul tanpa arah dan berbicara tanpa kendali.


Lantas, bagaimana sikap bijaknya?

Bukan berarti kita harus mengharamkan diri dari kedai kopi. Silakan duduk di sana, tapi niatkan untuk kebaikan. Jaga waktu, batasi durasi, dan pilih teman ngobrol yang saling mengingatkan. Dan sebelum lidah mulai berbicara, tanyakan kepada hati:

"Apakah yang akan aku ucapkan ini membawa manfaat, atau justru mencatatkan dosa?"


Kedai kopi, sejatinya, seperti pisau.

Di tangan yang bijak, ia bisa menjadi alat membagi rezeki dan berbagi ide.

Tapi di tangan yang lalai, ia bisa melukai waktu, merusak hati, dan menumpuk dosa.


Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang tahu kapan harus bicara dan tahu kapan harus diam. Tahu tempat, tahu batas, dan tahu tujuan hidup.


"Karena hidup bukan sekadar berapa lama kita duduk,

tetapi ke mana hati kita tertambat saat sedang duduk."


Penulis : H.Andi Muhammad Ramadhani

Posting Komentar

0 Komentar