"Menulis dalam Sunyi, Menerangi dalam Sepi"
H.Andi Muhammad Ramadhani,ICMI Orda Inhil
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang bising oleh unggahan, komentar, dan perdebatan tanpa arah, menulis tetap menjadi suara yang paling sunyi. Namun justru dalam kesunyiannya, ia menjadi jernih, mendalam, dan abadi.
Banyak yang bersuara lantang di media sosial, tapi hanya sedikit yang benar-benar didengar. Kata-kata yang lahir dari emosi sesaat mudah hilang ditelan arus informasi. Namun tulisan yang tumbuh dari keikhlasan, perenungan, dan kepedulian mampu menyentuh kesadaran, bahkan menggerakkan peradaban.
Dalam Islam, wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah Saw bukanlah ajakan untuk berkuasa, bukan pula perintah menaklukkan dunia. Melainkan satu kata yang mengguncang peradaban:
"Iqra'!" , Bacalah!
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq: 1)
Inilah panggilan pertama langit kepada bumi ajakan untuk mencari ilmu, merenung, memahami, lalu mentransformasi dunia. Dan dari wahyu itulah, umat yang sebelumnya tak dikenal, bangkit menjadi pembawa cahaya bagi seluruh manusia.
Kita mungkin bukan siapa-siapa.Bukan politisi, bukan akademisi, bukan tokoh ternama, bukan pula pemegang kuasa. Kita hanyalah hamba biasa yang menyimpan dan memelihara secuil kepedulian terhadap umat dan negeri. Tapi dari kepedulian itulah, perubahan bisa lahir jika disalurkan dengan jernih, sabar, dan konsisten.
Dalam diam kita menulis. Dalam sunyi kita berpikir. Menulis adalah bentuk dakwah bil hikmah di zaman digital. Ia tidak menggurui, tapi mengajak. Ia tidak memaksa, tapi menggugah. Saat kita menulis tentang keresahan kampung halaman, tentang anak-anak yang makin jauh dari Al-Qur’an, atau tentang ketimpangan sosial yang menyayat hati, sejatinya kita sedang merajut harapan. Kita tidak hanya mengkritik, tapi juga mencintai. Mencintai sesama, mencintai bangsa, dan mencintai nilai-nilai yang diwariskan Rasulullah Saw; keadilan, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial.
Sering kali kita merasa kecil. Kita merasa tak punya pengaruh.
Tapi sejarah penuh bukti bahwa perubahan besar kerap lahir dari suara-suara sederhana. Sepucuk surat, secarik catatan, atau bahkan satu paragraf yang tulus bisa menyalakan cahaya di hati seseorang.
Imam Hasan Al-Banna pernah berkata,
"Kewajiban yang paling utama adalah engkau memperbaiki dirimu, hingga menjadi teladan bagi orang lain."
Dan salah satu cara memperbaiki diri adalah dengan menulis: menata pikiran, membersihkan niat, serta menyampaikan kebenaran dengan adab dan kasih.
Hari ini, semua orang punya kesempatan untuk menulis.
Tak perlu menunggu gelar.Tak perlu menunggu panggung. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk berpikir, dan keikhlasan untuk berbagi. Bahkan jika hanya satu jiwa yang tersentuh oleh tulisan kita, itu bisa menjadi amal jariyah yang terus mengalir hingga akhir hayat.
Karena sejatinya, menulis bukan untuk mereka yang punya gelar, pandai dan hebat.
Menulis adalah jalan sunyi yang dulu dipilih oleh para Nabi, para ulama, dan para penyeru kebaikan.
Dan jalan itu kini terbuka pula untuk kita semua. Siapa pun yang ingin memberi cahaya,walau hanya setitik.
Karena boleh jadi, setitik cahaya itulah yang kelak menjadi saksi di hadapan Nya,bahwa kita pernah mencoba memberi makna pada hidup ini.
0 Komentar